Kingdom Of The Red Sky (赤天国) - Li Shenlong (黎神龙) BAB1
Kingdom Of The Red Sky (赤天国) - Li Shenlong (黎神龙) - Langit di atas Istana Tianlong, kediaman megah Kerajaan Langit Merah, berpijar merah seperti darah pada malam yang menentukan itu. Petir menyambar di kejauhan, mengguncang pilar-pilar giok dan emas yang menjulang di tengah lembah yang dikelilingi pegunungan. Namun, tidak ada hujan yang turun—hanya angin panas yang membawa bisikan kuno, seolah-olah langit sendiri sedang berbicara. Di dalam istana, suasana tegang. Para pelayan berlarian dengan wajah pucat, membawa air panas dan kain bersih, sementara para tetua Tianji—Pengintai Langit—berlutut di aula suci, menatap kitab-kitab kuno dengan ekspresi campur antara kagum dan takut.
Malam itu, Permaisuri Mei Hua, wanita dengan kecantikan bak bunga plum yang mekar di musim dingin, sedang melahirkan. Wajahnya, meski pucat karena rasa sakit, memancarkan ketenangan yang tak tergoyahkan. Di sisinya, Kaisar Li Wenzhao, penguasa Kerajaan Langit Merah, berdiri dengan tangan terkepal. Jubah naga merahnya berkibar lembut ditiup angin yang menyelinap melalui jendela, tetapi matanya—tajam dan penuh beban—terpaku pada pintu kamar persalinan. Dia adalah seorang kaisar yang telah menaklukkan klan-klan pemberontak dan membawa kedamaian ke kerajaan, namun malam ini, dia hanyalah seorang ayah yang menanti kelahiran anaknya.
Di luar istana, legenda kuno yang telah lama terlupakan mulai berbisik di antara rakyat. Dikatakan bahwa ketika langit merah membakar malam, seorang anak yang ditakdirkan akan lahir—seorang pewaris yang akan menjadi penyelamat atau kehancuran Kerajaan Langit Merah. Para tetua Tianji, yang telah membaca gulungan-gulungan kuno peninggalan Li Tianbao, kakek Shenlong dan mantan kaisar, memperingatkan bahwa anak ini akan memiliki darah naga, sebuah anugerah sekaligus kutukan. Feng Yulan, nenek Shenlong, yang pernah menjadi permaisuri penuh kebijaksanaan, konon pernah meramalkan bahwa keturunan mereka akan mengubah nasib langit dan bumi.
Ketika tangisan bayi akhirnya memecah keheningan, seluruh istana seolah menahan napas. Seorang tabib wanita keluar dari kamar persalinan, membungkuk dalam-dalam di hadapan kaisar. “Yang Mulia,” katanya dengan suara gemetar, “Permaisuri telah melahirkan seorang putra. Langit telah memberikan tanda—petir menyambar tiga kali saat dia lahir.”
Li Wenzhao mengangguk, wajahnya tetap teguh meski jantungan berdegup kencang. Dia melangkah masuk ke kamar, di mana Mei Hua memeluk bayi kecil itu dengan penuh kasih. Anak itu memiliki mata yang bersinar seperti bara, seolah-olah menyimpan rahasia langit di dalamnya. “Shenlong,” bisik Mei Hua, suaranya lembut namun penuh makna. “Li Shenlong—Dewa Naga. Itulah namamu.”
Kaisar menatap putranya, merasakan beban takdir yang kini terletak di pundak mereka. “Long’er,” katanya pelan, menggunakan panggilan sayang yang akan menjadi ciri kasih ayahnya, “engkau adalah harapan kami, tetapi juga tanggung jawab yang besar.”
Li Shenlong tumbuh di bawah bayang-bayang legenda yang menyelimuti kelahirannya. Istana Tianlong, dengan menara-menaranya yang menjulang seperti sisik naga dan aula-aula yang dihiasi ukiran phoenix dan awan, menjadi dunia pertamanya. Dinding-dinding istana dipenuhi lukisan tentang pendiri kerajaan, seorang pendekar yang konon diberkati oleh Naga Merah, dan Shenlong sering menghabiskan waktu menatap lukisan itu, bertanya-tanya apakah dia benar-benar memiliki darah naga seperti yang dikatakan para tetua.
Sejak usia tiga tahun, Shenlong menunjukkan tanda-tanda keistimewaan yang membuat para pelayan berbisik dan para cendekiawan istana tercengang. Dia bisa membaca kitab-kitab kuno dalam bahasa Guwen, bahasa yang hanya dikuasai oleh para sarjana tua. Dia juga memiliki ingatan yang luar biasa, mampu mengingat setiap detail dari cerita-cerita yang diceritakan oleh ibunya tentang kakeknya, Li Tianbao, yang pernah memimpin kerajaan melalui Zaman Emas, atau neneknya, Feng Yulan, yang dikenal karena kebijaksanaannya dalam meredam konflik antar-klan.
Namun, yang paling mengejutkan adalah kemampuan Shenlong dalam mengendalikan alam jiwa—energi vital yang menjadi inti dari seni bela diri dan meditasi Tao. Pada usia lima tahun, saat bermain di taman istana, dia tanpa sengaja menciptakan pusaran angin kecil hanya dengan menggerakkan tangannya, membuat bunga-bunga plum di sekitarnya berputar seperti tarian. Mei Hua, yang menyaksikan kejadian itu, hanya tersenyum, tetapi matanya penuh kekhawatiran. “A-Long,” katanya dengan panggilan akrab yang selalu menghangatkan hati Shenlong, “kekuatanmu adalah anugerah, tetapi kau harus belajar mengendalikannya.”
Kaisar Wenzhao, di sisi lain, melihat potensi besar dalam putranya. Dia sering membawa Shenlong ke Balkon Naga, sebuah teras tinggi di Istana Tianlong yang menghadap ke lembah dan pegunungan. Di sana, sambil memandang langit yang sering memerah di senja, dia bercerita tentang tugas seorang kaisar. “Long’er,” katanya suatu malam, “kerajaan ini bukan hanya tanah dan rakyat. Ini adalah amanah dari langit. Dan kau, sebagai Dewa Naga, harus menjaga keseimbangan antara manusia dan dewa.” Shenlong, yang saat itu baru berusia enam tahun, hanya mengangguk, meski dia belum sepenuhnya memahami beratnya kata-kata ayahnya.
Tidak semua orang di istana menyambut keistimewaan Shenlong dengan sukacita. Para tetua Tianji, yang dipimpin oleh tetua Agung Zhao Yun, sering mengadakan ritual rahasia di Kuil Seribu Awan, sebuah kuil kecil di puncak bukit dekat istana. Mereka membaca gulungan kuno yang berisi ramalan tentang “Anak Langit Merah,” seorang keturunan yang lahir di bawah langit merah dan ditakdirkan untuk mengubah dunia. Namun, ramalan itu ambigu—anak itu bisa membawa kejayaan abadi atau kehancuran total.
“Yang Mulia,” kata Zhao Yun kepada Kaisar Wenzhao dalam sebuah sidang tertutup, “Tuan Muda Shenlong memiliki tanda-tanda yang disebutkan dalam gulungan. Matanya seperti bara, alam jiwa-nya seperti naga, dan langit merah pada kelahirannya adalah bukti. Tetapi kami khawatir. Jika dia tidak belajar mengendalikan kekuatannya, dia bisa menjadi ancaman bagi kerajaan.”
Wenzhao mendengarkan dengan wajah tak tergoyahkan, tetapi tangannya mencengkeram singgasana naga dengan erat. “Shenlong adalah putraku,” jawabnya tegas. “Dia akan belajar, dan aku akan memastikan dia menjadi pemimpin yang layak.” Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa ramalan itu bukan sekadar kata-kata kosong. Dia masih ingat cerita ayahnya, Li Tianbao, tentang pertempuran melawan sekte gelap yang hampir menghancurkan kerajaan, dan bagaimana Feng Yulan menggunakan kebijaksanaannya untuk menyatukan klan-klan. Wenzhao berjanji pada dirinya sendiri bahwa Shenlong tidak akan jatuh ke dalam kegelapan yang diramalkan.
Mei Hua, yang lebih peka terhadap hal-hal spiritual, sering membawa Shenlong ke taman istana untuk bermeditasi di bawah pohon plum tua, peninggalan Feng Yulan. “Longlong,” katanya suatu hari, menggunakan panggilan sayang yang membuat Shenlong tersenyum, “naga di dalam dirimu adalah bagian dari langit, tetapi hatimu adalah milikmu sendiri. Jangan biarkan ramalan menentukan siapa dirimu.” Shenlong, yang saat itu berusia tujuh tahun, hanya mengangguk, tetapi kata-kata ibunya tertanam dalam di hatinya.
Pada ulang tahun Shenlong yang ketujuh, Kaisar Wenzhao memutuskan bahwa sudah waktunya putranya memulai pelatihan formal sebagai pewaris takhta. Dia memanggil Wu Zhang, seorang pendekar pedang legendaris yang dikenal sebagai “Pedang Tak Terlihat,” untuk menjadi guru pertama Shenlong. Wu Zhang adalah pria berusia lima puluh tahun dengan rambut kelabu dan mata yang tajam seperti elang. Jubahnya sederhana, tetapi pedang di pinggangnya, yang konon ditempa dari besi bintang, memancarkan aura yang menakutkan.
Hari pertama pelatihan diadakan di Lapangan Naga, sebuah halaman luas di Istana Tianlong yang dikelilingi patung-patung naga batu. Shenlong, mengenakan jubah merah sederhana, berdiri di hadapan Wu Zhang dengan pedang kayu di tangan. “Tuan Muda Shenlong,” kata Wu Zhang dengan suara yang dalam dan berwibawa, “pedang bukan sekadar senjata. Ini adalah cerminan jiwamu. Jika hatimu goyah, pedangmu akan patah.”
Shenlong, yang masih anak-anak, merasa jantungnya berdegup kencang. Dia mengangguk dan mengayunkan pedang kayunya, tetapi gerakannya canggung dan penuh ragu. Wu Zhang menggelengkan kepala. “Murid Long,” katanya, beralih ke panggilan yang lebih akrab, “kau bukan hanya anak kaisar. Kau adalah naga. Bayangkan sisikmu bersinar, cakarmu tajam, dan napasmu membakar langit. Sekarang, serang!”